Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dalam Kebijakan Relaksasi Penyelesaian Kredit
Dampak ekonomi dari pandemi virus coronavirus (COVID-19) telah sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia selama beberapa bulan terakhir. Mulai dari bulan Maret, penerapan kebijakan work from home (WFH) telah memaksa banyak usaha untuk mengurangi kegiatan mereka selama pandemi. Penurunan jumlah pendapatan untuk usaha-usaha ini juga mendorong pemerintah untuk mencari solusi alternatif untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Dalam konferensi pers pada 24 Maret 2020, Presiden Indonesia Joko Widodo menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memberikan relaksasi penyelesaian pinjaman untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Karena usaha-usaha ini bersifat rentan karena bergantung pada pinjaman kredit untuk mendukung kegiatan mereka, pemerintah memutuskan bahwa solusi terbaiknya adalah meringankan beberapa proses pembayaran. Dalam kondisi normal, usaha ini mengandalkan sarana kendaraan seperti sepeda motor, mobil, truk, dan kendaraan lain untuk mendukung pekerjaan sehari-hari mereka dan secara bertahap membayar pinjaman dari pendapatan mereka. Karena pandemi telah menyebabkan menurunnya jumlah pendapatan mereka secara signifikan, dikhawatirkan usaha ini tidak akan dapat membayar pinjaman mereka kepada masing-masing perusahaan pembiayaan.
Berdasarkan pertanyaan yang sering diajukan (FAQ) yang baru-baru ini dirilis oleh OJK pada 7 April, pemerintah akan memberikan stimulus untuk memberikan keringanan terkait dengan penyelesaian pinjaman. Yaitu dengan memprioritaskan target bisnis tertentu yang akan menerima penundaaan pembayaran dalam kurun waktu 1 tahun. Dalam periode ini, perusahaan pembiayaan dan UMKM harus menyepakati tanggal yang ditentukan, yang berbeda dengan jadwal penyelesaian pinjaman reguler pada waktu normal untuk melakukan penyelesaian pinjaman. Untuk menerapkan kebijakan ini, OJK menyatakan bahwa kebijakan penyelesaian pinjaman yang baru tidak akan berlaku secara otomatis. Sebaliknya, baik UMKM maupun perusahaan pembiayaan harus mengajukan permintaan pribadi agar dapat menerima manfaat dari relaksasi ini. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah pengaduan dari debitur mengenai kebijakan baru tersebut.
Menurut juru bicara OJK Sekar Putih Djarot, OJK masih menerima laporan kegiatan penagihan hutang ilegal setelah berlakunya kebijakan baru ini. Untuk memberikan klarifikasi untuk masalah ini, ia menekankan bahwa pekerja informal tanpa jumlah pendapatan yang stabil harus menerima manfaat penuh dari kebijakan ini. Selain itu, untuk debitur dengan jumlah pendapatan tetap sebelum dan selama pandemi, mereka masih harus melunasi pinjaman mereka berdasarkan kondisi yang telah disepakati sebelumnya dan mereka tidak akan menerima hak istimewa dari kebijakan ini.
Meskipun demikian, beberapa kendala perlu diselesaikan sebelum kebijakan ini dapat diimplementasikan sepenuhnya. Fithra Faisal, seorang ekonom dari Universitas Indonesia, mengklaim bahwa kebijakan relaksasi penyelesaian pinjaman perlu ditentukan untuk konteks yang berbeda. Meskipun maksud ide tersebut baik, kebijakan tersebut tidak memiliki aturan yang berbeda untuk berbagai perusahaan yang beragam.
Mengenai masalah ini, Komisi XI dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana untuk mengadakan pertemuan dengan OJK untuk menangani masalah ini dalam beberapa minggu mendatang. Sebagai komisi pemerintah yang ditugaskan untuk bertanggung jawab di bidang perbankan dan lembaga keuangan non-perbankan, Komisi XI mengupayakan pertemuan yang lebih terperinci dengan OJK untuk memastikan penerapan kebijakan ini secara adil untuk semua usaha di Indonesia. Dengan ini, pemerintah mengharapkan mitigasi dari kemungkinan kerugian finansial akibat situasi saat ini baik bagi perusahaan pembiayaan maupun UMKM.