Kepatuhan Regulasi PSAK 71
Setiap usaha bisnis dan perusahaan yang ada di bidang ekonomi kompetitif harus mengikuti serangkaian peraturan. Serangkaian peraturan ini mengatur cara perusahaan-perusahaan mengajukan laporan keuangan mereka demi transparansi dan legalitas. Umumnya disebut dengan standar akuntansi, semua usaha dari bisnis kecil dan menengah hingga bisnis yang lebih besar harus mengikuti standar ini, walaupun pada tingkat yang berbeda. Selain itu, untuk usaha yang lebih besar, standar akuntansi yang harus mereka patuhi biasanya lebih kaku daripada usaha yang lebih kecil.
Kondisi ini berlaku juga untuk bank konvensional. Di Indonesia, bank konvensional yang berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengajukan laporan keuangan yang relevan sesuai aturan. Biasanya, bank-bank ini mengikuti pedoman yang disebut Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) yang berfungsi untuk menjaga transparansi dan penyajian laporan keuangan. Dengan mengikuti pedoman ini, bank konvensional Indonesia diharapkan menyajikan laporan keuangan yang akurat dan berkualitas tinggi untuk kepentingan semua pihak yang berkepentingan.
Setiap tahun, otoritas keuangan memperbarui standar dan pedoman yang ada agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar ekonomi yang selalu berubah. Untuk badan keuangan Indonesia, umumnya disebut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), beberapa standar akuntansi yang berbeda mencakup bidang akuntansi yang juga berbeda. Saat ini, terdapat 73 standar akuntansi yang berbeda pada Januari 2020.
Salah satu standar akuntansi yang paling baru diterapkan dari IAI adalah peraturan PSAK 71. Meskipun telah disahkan secara resmi pada tahun 2017, peraturan ini baru saja diterapkan pada tahun 2020. Menurut Sardjito, wakil komisaris OJK, PSAK 71 akan memperbaiki beberapa kekurangan dari peraturan sebelumnya. Mengingat bahwa semua bank konvensional di Indonesia harus mengikuti peraturan baru ini mulai dari tahun 2020, pemberlakuan PSAK 71 tidak dapat dihindari. Singkatnya, PSAK 71 membahas instrumen keuangan dalam usaha bisnis dan perusahaan.
Berdasarkan IAI, PSAK 71 memberikan pedoman untuk pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Karena PSAK 71 konsisten dengan IFRS (International Financing Reporting Standard) 9, PSAK 71 membahas masalah instrumen keuangan yang sama. Dalam peraturan keuangan baru ini, perusahaan dan bank harus menyediakan cadangan kerugian penurunan nilai, atau CKPN (cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit) untuk semua kategori kredit. PSAK 71 mencakup semua kategori kredit, baik kredit yang berkinerja baik, berkinerja buruk, atau yang macet.
Alasan di balik penerapan PSAK 71 adalah untuk memastikan bahwa bank dan perusahaan bisnis mampu memberikan kredit cadangan tambahan jika terjadi krisis yang tidak terduga. Terinspirasi dari krisis ekonomi 2008, banyak badan akuntansi menciptakan standar akuntansi baru untuk menghadapi perubahan mendadak dalam kancah ekonomi global. Selain itu, risiko gagal bayar yang mendasari situasi kredit mendorong International Accounting Standard Board (IASB) untuk melakukan pembaharuan berkelanjutan terhadap standar.
Penerapan standar baru ini menimbulkan berbagai macam reaksi dari banyak bank di Indonesia. PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, misalnya, telah membuat beberapa perhitungan kemungkinan nomor CKPN jangka pendek pada tahun 2019. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa CKPN harus dinilai sejak periode awal tahun (kerugian yang diduga) dan tidak pada saat kredit macet (kerugian yang timbul). Sebagai akibatnya, BRI harus memasukkan hasil penilaian implementasi CKPN dalam laporan keuangan komprehensif BRI pada tahun itu.
Dalam kasus yang hampir serupa, PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk juga telah mempersiapkan PSAK 71 pada tahun yang sama. Menurut Direktur Keuangan dan Treasury BTN Nixon LP Napitupulu, BTN telah melakukan beberapa perubahan untuk Rencana Bisnis Bank (RBB) dan fokus bisnisnya. Dalam pernyataannya, BTN telah menyiapkan tingkat cadangan 100% dari potensi kerugian kredit pada tahun 2020. Dengan fokus dan rencana yang diperbarui ini, BTN berharap untuk dapat sepenuhnya memenuhi standar PSAK 71 pada tahun yang ditargetkan.
Namun, pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung pada tahun 2020 telah memaksa beberapa perubahan pada standar ini di Indonesia. Untuk memitigasi kemungkinan kerugian finansial dari pandemi, OJK mendesak bank untuk mengidentifikasi debitur yang kinerjanya berkurang karena pandemi. Ini akan dilakukan dengan menilai secara akurat semua debitur yang perusahaan bisnisnya menderita dalam beberapa bulan terakhir. Setelah dinilai, bank harus membuat skema restrukturisasi untuk menunjukkan usaha bisnis yang secara konsisten berkinerja buruk.
Pada akhirnya, penerapan PSAK 71 sangat tergantung pada kinerja perekonomian saat ini. Dalam kondisi normal, bank harus menyajikan laporan keuangan paling akurat dari perusahaan terlepas dari ruang lingkup bisnis mereka. Namun, dalam masa-masa mendesak, beberapa kompromi harus dilakukan untuk mengurangi beban perusahaan-perusahaan yang berkinerja buruk. Dengan mengingat hal ini, pihak berwenang berharap untuk sepenuhnya memberlakukan penerapan standar baru ini dengan cara yang lebih sesuai dan mudah beradaptasi.
Pencadangan dana untuk kerugian penurunan nilai ekonomi bukanlah hal yang baru. Kepatuhan regulasi OJK dan aturan pemerintah yang lain sudah disesuaikan di dalam multifinace core systems CONFINS. Aplikasi Business Intelligence ARS sebagai bagian dari CONFINS adalah business intelligence software yang telah disesuaikan untuk memantau dan memberikan pengetahuan yang lebih dalam terhadap kondisi finansial perusahaan Anda supaya tetap sejalan dengan peraturan pemerintah.